Silent Hill Revelation 2012




"Silent Hill: Revelation 3D" melanjutkan kisah yang tertinggal dari film pertamanya. Setelah peristiwa mencekam yang menjebak sang Ibu Rose De Silva (Radha Mitchell) selamanya terkurung di Silent Hill, Sharon (Adelaide Clemens) yang akhirnya berhasil diselamatkan, kini hanya tinggal bersama sang Ayah, Christopher (Sean Bean). Selama bertahun-tahun, mereka hidup berpindah-pindah dan berganti identitas untuk menyelamatkan diri dari teror yang sama yang mereka alami dulu. Sharon menjadi Heather Mason, dan Christopher menjadi Harry Mason dalam identitas terbaru mereka. Heather kerapkali masih dihantui oleh mimpi buruk yang memanggilnya untuk kembali ke Silent Hill.

     Mimpi terburuknya kemudian muncul ketika tak lama berselang dari ulang tahunnya ke-18, Harry Mason tiba-tiba menghilang. Hilangnya sang Ayah kemudian menggiring Heather untuk mencarinya ke Silent Hill. Dengan bantuan dari kawan baru di sekolahnya Vincent (Kit Harrington) yang seperti menyimpan misteri sendiri tentang tempat terkutuk tersebut, Heather kemudian kembali ke Silent Hill. Kini ia harus kembali menemui makhluk-makhluk mengerikan dalam dunia penuh keheningan mencekam tersebut. termasuk menemui panggilannya untuk bertemu dan mengalahkan "separuh dirinya" yang masih menyimpan dendam kesumat dan menguasai Silent Hill, Alessa. read more >>


     Heather Mason (Adelaide Clemens) dan ayahnya, Christopher Da Silva (Sean Bean) bertahun-tahun dalam pelarian hingga dimalam ulang tahunnya ke-18, Christopher menghilang.

     Heather mendapati dirinya hidup dalam kebohongan dan perjalanan melalui dimensi lain di Silent Hill, dimana sebuah kultus dipimpin oleh Claudia Wolf (Carrie-Anne Moss)dan Leonard Wolf (Malcolm McDowell) sebagai pemegang kekuasaan. Dia harus mencoba melarikan diri dari dunia iblis tersebut atau terjebak disana selamanya




Genre : Horor, Misteri
Tanggal Rilis Perdana : 26 Oktober 2012
Durasi : 94 min.
Studio : Open Road Films
Official Site
CAST & CREW
Sutradara : Michael J. Bassett
Produser : Samuel Hadida, Don Carmody
Penulis Naskah : Michael J. Bassett
Pemain :
Adelaide Clemens, Kit Harington, Sean Bean, Radha Mitchell, Deborah Kara Unger, Carrie-Anne Moss, Malcolm McDowell 
 


Subtitle Indoensia
by http://sebuah-dongeng.blogspot.com/ --- http://IDFL.US
Download Subtitle Indonesia

I3 Intel Core Processor + Nvidia 600 series




 Spesifikasi Notebook dengan prosesor i3 dan Nvidia 600 merupakan kategori paling minimal dan murah untuk main game-game pc keluaran sekarang. Baik itu merek Acer, Asus, dsb. Dengan bantuan GPU Nvidia Graphics maka akan mempermudah kelancaran anda dalam bermain game. Walau settingan nya tidak bisa begitu Full Graphics apalagi Ultra. namun kualitas Medium pun bagi Notebook yang Ukuran layarnya cuma 1366x768 sudah sangat cukup, RAM yang diperlukan 2GB pun cukup, untuk main Game kayaknya gak perlu di upgrade lagi RAM nya kecuali untuk Editting Video atau Sound Studio.
Bagi Notebook dengan Spec diatas, sudah saya uji dengan Game-game berikut Dengan OS Windows8 x86 Pake LG HDTV21 inc RGB :

1. Dynasty Warrior 6 (Extrime Legend)
Resolusi 1600x900 Full High Quality, Lumayan lancar

2. NFS Hot Persuit
Resolusi 1366x768 HD Graphics, High Shadow, Efec-Blur, 1.5 Sur/Sound, Lancar 

3. DMC Devil May Cry
Resolusi 1600x900 All High plus HD Graphics, Lancar

4. Assassins Creed III
Resolusi 1366x768 All setting Normal,

5. ACE COMBAT
Resolusi 1600x900  Optimal Setting. Lancar

6. Fifa 13
Resolusi 1366x768 High + sync, Lancar

Dsb... kyaknya masih kuat kecuali game GTA IV, Call of Duty, Battle Field, Resident Evil Raconcity, NFS The RUN, SPIDERMAN amazing, terpaksa menggunakan resolusi LOW untuk memainkannya agar optimal dan tetap nyaman...


Jurnalisme Yang Peka Gender dan Paham tentang Kebebasan Pers dan UU Pomografi

Maka dibutuhkan jurnalisme yang peka gender dan punya empati yang tinggi sekali. Perempuan sesungguhnya bukan hanya menghadapi musuh lama (laki-laki) tetapi musuh baru yang jauh lebih perkasa, yakni kapitalisme. Laki-laki bahkan telah dimanfaatkan oleh kapitalisme untuk bersama-sama melestarikan struktur hubungan gender yang timpang. Pelestarian ketimpangan hubungan itu tidak hanya menyebabkan perempuan semakin tersubordinasi, tapi juga menyebabkan subordinasi perempuan oleh perempuan sendiri. Jurnalis(me) yang peka gender dengan demikian memang tak mengenal pembagian kerja secara seksual. Dalam banyak kasus, tak sedikit jurnalis laki-laki yang justru memiliki kepekaaan gender dalam pemberitaan yang mereka buat. Sedang di sisi lain cukup banyak jurnalis perempuan yang justru tidak memiliki kepekaan gender dalam berita-berita yang mereka tulis. Sudah tentu, persoalannya bukan sekadar jurnalis laki-laki atau jurnalis perempuan yang paling tepat untuk meliput peristiwa kekerasan terhadap perempuan. Yang dibutuhkan adalah suatu metode kerja jurnalis(me), yang mampu menghasilkan informasi jurnalisme yang berperspektif gender.

Penerapan jumalisme empati melalui metode reportase dalam mengeksplorasi fakta-fakta publik melalui sudut pandang (angle) dan fokus perhatian (focus interest). Kedua hal saling berkaitan, yaitu sudut pandang merupakan pilihan dalam menentukan sasaran yang akan dijadikan sebagai subyek sebagai titik tolak dalam menentukan sasaran yang akan dijadikan subyek sebagai titik tolak dalam pemaparan berita (news story). Manakala yang dijadikan subyek adalah korban dalam relasi sosial, maka untuk mendapatkan gambaran tentang fakta situasi sosial korban ini. Yang harus dilakukan sekarang adalah :
1>    Mengikutsertakan para jurnalisme dalam kegiatan “pencerahan” yang diselenggarakan LSM ataupun juga pemerintah kita sendiri.
2>  Menggalang solidaritas masyarakat untuk memboikot surat kabar yang tidak mau mengubah orentasi pemberitaan mereka agar peka gender. Bentuk boikot masyarakat bisa dengan berhenti berlangganan atau membeli secara eceran, atau bahkan memutuskan sama sekali tidak membaca surat kabar bersangkutan.

Pers sebagai cerminan harus bisa menunjukkan citra positive nya dalam kehidupan bermasyarakat. Pers Indonesia harus lebih meningkatakan kesadarannya akan citra positive itu terutama menyangkut dalam pemberitaan yang berbau pornografi. Harus menaati dan mematuhi Undang- Undang Pornografi yang baru saja di tetapkan di Indonesia ini.

Idelogi Patriakhi

Disebutkan bahwa laki-laki berada di “atas” (mendominasi) perempuan, dan karena itu perempuan berada “dibawah” (subordinasi) laki-laki. Kontruksi sosial seperti inilah kemudian lebih populer dengan sebutan ideologi patriarkhi. Persoalan yang kemudian muncul adalah, bisakah ideologi patriarkhi diatas digusur oleh ideologi lain yang lebih menghargai perempuan? Bisa, tapi dengan syarat :

(i)              Ideologi patriarkhi tidak bisa lagi dimengerti masyarakat;
(ii)            Ideologi patriarkhi tidak lagi menjadi perekat masyarakat;
(iii)         Ideologi patriarkhi tidak terwujud dalam norma-norma, larangan-larangan, symbol-simbol, aturan-aturan masyarakat.
Sesungguhnya ideologi patriarkhi tersebut bukan sesuatu yang diberikan pada satu masyarakat, melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang melalui proses interpretasi dan reinterpretasi berbagai pengalaman dalam kehidupan masyarakat. Artinya, kalau interpretasi dan reinterpretasi berbagai pengalaman dalam kehidupan masyarakat yang menerapkan ideologi patriarkhi menunjukkan hasil yang negatif, maka ideologi tersebut bisa digantikan oleh ideologi lain. Untuk itu, berbagai pihak perlu menginterpretasikan dan mereinterpretasikan berbagai pengalaman yang menunjukkan kepedihan, ketertindasan dan kenistaan yang disebabkan oleh penerapan ideologi patriarkhi.

Pornografi dalam Pers

Misalnya contoh dalam sebuah tulisan media pers yang tidak kenal gender seperti ini : “Ditengah rontaan sang gadis, tangan Es bekerja. Payudara milik korban ia remas dengan nafsu. Tidak hanya sampai disitu, tangannya yang lain menelusup masuk ke celana dalam gadis itu. Kemudian, telunjuk kanan pria dewasa itu masuk menjelajah bagian terlarang yang selama ini dijaga sang gadis”. (Semarak,7/7/01).

Protes masyarakat yang mengutuk peredaran tabloid dan majalah yang menyiarkan gambar-gambar porno, terjadi di berbagai kota besar di Indonesia. Secara atraktif, sejumlah demonstran membakar beberapa eksemplar tabloid yang dihujatnya, sambil tidak lupa mengutuk pihak eksekutif dan legislatif yang dianggap kurang aspiratif dalam memberantas soal pornografi. Persoalan pornografi memang tak pernah usai diperdebatkan. Di kalangan pers sendiri muncul perdebatan sengit menyangkut media yang kerap memajang gambar-gambar yang mengeksploitasi tubuh wanita sekadar sebagai barang dagangan. Satu pihak menganggap bahwa media yang gemar memasang foto sekwildapa wanita bukanlah bagian dari jurnalisme. Argumennya karena jurnalisme tak berurusan dengan fakta personal. Apalagi bagian dari fakta personal yang sangat pribadi, yang semestinya tak perlu diumbar ke publik. Di sisi lain para pembela pers bebas, sangat percaya bahwa mekanisme pasar akan menseleksi persoalan media lheeer tersebut.

Terlepas dari perdebatan tersebut, yang jelas, persoalan kekerasan terhadap wanita (pornografi adalah termasuk salah satu bentuk kekerasan), tak melulu diproduksi lewat bahasa visual. Media pers justru hampir setiap waktu melakukan kekerasan terhadap wanita lewat teks-teks berita yang diproduksinya. Riset KIPPAS terhadap pemberitaan peristiwa kekerasan (khususnya perkosaan) yang dialami kaum wanita pada tujuh surat kabar yang terbit di Sumatera tahun 2001 memperlihatkan masih dominannya penggunaan diksi (kata) yang bersifat konotatif ketika jurnalis mengkonstruksi peristiwa perkosaan. Dari sebanyak 98 item berita yang dianalisis, sebanyak 62 item berita (63,26%) mengandung kekerasan simbolik, dimana sebanyak 31 item berita (50%) mengandung eufimisme dan 16 item berita (25,81%) berupa metafora. Jenis kekerasan simbolik lainnya adalah stigmatisasi, disfemisme dan hiperbola.

Eufemisme umumnya digunakan jurnalis untuk mengganti istilah perkosaan yang dialami korban, sedangkan metafora digunakan untuk memperbandingkan korban, kecantikan korban dan bagian tubuh korban dengan istilah atau benda-benda tertentu yang sudah dikenal masyarakat. Dalam teks berita, eufemisme muncul dalam kata seperti: menggagahi, meniduri, menggauli, mencicipi, mencabuli, menodai, dintimi, dihamili, di perawani, diesek-esek, berindehoy, dibor, memaksakan kehendak, berbuat hal yang sama, ambil bagian, minta jatah, merenggut kesucian, dikerjai, lubang terlarang, diobok-obok dan metafora muncul dalam kata seperti: pagar makan tanaman, habis manis sepah dibuang, menghabisi, memetik kegadisan, menggarap, mahkota berharga, naik ke bulan dan kembang desa.

Pilihan kata atau ungkapan-ungkapan konotatif, umumnya dilakukan jurnalis dengan alasan untuk menghindari kebosanan publik ketika membaca berita perkosaan tersebut. Ada juga yang berpendapat untuk memperkaya gaya penulisan berita mereka. Argumen lain adalah agar pembaca tersedot perhatiannya. Dan itu mesti dengan bumbu: sex and crime! Jurnalis lain beragumen bahwa kekayaan diksi juga menunjukkan kekayaan intelektual mereka. Namun sayang, tak cukup banyak jurnalis yang memperhitungkan implikasi sosiologis dari pilihan kata yang mereka tulis. Pilihan kata yang konotatif tersebut justru akan melahirkan pemahaman yang berbeda dari publik. Khususnya terhadap tindak kejahatan perkosaan itu sendiri.

Selain itu, ketika menulis berita perkosaan, para jurnalis umumnya juga gemar menggunakan bahasa-bahasa yang merangsang imaji pembaca. Contohnya kalimat seperti telentang tanpa memakai pakaian dan membuka celananya. Menurt Yasraf A. Pilliang, kalimat tersebut memang mempunyai nilai ekonomi libido yang tinggi, karena memikat pembaca untuk berfantasi terhadap jalannya perkosaan. Selain mengungkapkan ‘ketelanjangan’, kata-kata itu sendiri sudah merupakan sebuah ‘ketelanjangan bahasa’ (naked language) atau ‘kecabulan bahasa’ (language obscenity), sebagaimana yang dimaksud Jean Baudrillard. Tidak ada lagi tabir, tidak ada lagi rahasia, tidak ada lagi yang disembunyikan oleh bahasa, semuanya diungkapkan, inilah kecabulan (dan sekaligus kekerasan) informasi.

Contoh penggunaan diksi lain yang konotatif adalah melalui ungkapan metafora yang umumnya digunakan dalam dunia fiksi. Contohnya mengajak “naik ke bulan”. Sebagai sebuah metafora untuk menjelaskan proses persetubuhan, kata-kata naik ke bulan dapat dimasukkan ke dalam apa yang disebut Ricoeur sebagai ‘metafora menyimpang’ (deviant metaphor). Sebagai sebuah tanda pinjaman (transferred sign), kata-kata tersebut telah kehilangan makna lateral maupun konotatif.

Tidak ada sama sekali makna konotatif yang muncul dari kata bulan, misalnya konotasi ‘tindak seksual’, atau ‘feminin’. Metafora tersebut mungkin digunakan untuk merepresentasikan ‘kepuasan puncak’. Bila memang demikian, ia telah meredusir sebuah perkosaan sebagai sebuah ‘kesenangan bersama’, oleh karena kedua pihak bersama-sama ‘naik ke bulan’. Metafora digunakan di sini, bukan untuk menggiring ke arah kebenaran makna, akan tetapi untuk menciptakan deviasi dan distorsi makna yang sangat jauh.

Inilah kemiskinan intelektual di kalangan pers yang menyalahgunakan kebebasannya dalam bekerja. Media pers memang dapat menjadi reflektor dari ketidakadilan gender dalam masyarakat karena mengambil fakta sosial tanpa disertai perspektif. Hal ini mengakibatkan fakta sosial dijadikan sekadar sebagai komoditas informasi media. Dengan kata lain, fakta perempuan sebagai komoditas di ruang publik, diangkat sebagai komoditas media, sehingga media bukan hanya merefleksikan, tetapi telah mereplika fakta tersebut. Sebagai replikator, media menggandakan ketidakadilan struktural, sebab komodifikas perempuan berlangsung dua tahap, pertama pada saat menjadi fakta sosial dan kedua setelah menjadi fakta media (informasi). Ini terjadi dengan pengambilan detail dari fakta dalam kerangka alam pikiran patriarkhi. Penampilan fitur bagian tubuh perempuan untuk tujuan kesenangan laki-laki misalnya, dapat disebut sebagai eksploitasi perempuan dalam kerangka patriarkhi.

Persoalannya, bagaimana proses komodifikasi informasi sampai menjadi “ideology” dominan para jurnalis? Apakah semata karena karena persoalan subyektifitas persepektif terkait dengan “kemiskinan intelektual” yang diidap para jurnalis? Atau lebih karena bekerjanya sistem nilai dominan di masyarakat, dimana para jurnalis berfungsi sebagai konsumen sekaligus produsen yang mereplikasi sistem nilai yang dominan tersebut? Pertanyaan selanjutnya adalah: sistem nilai seperti apa yang dominan dianut oleh masyarakat? Jawabannya adalah keduanya: ya kemiskinan intelektual, ya karena ideologi patriakhi.