- 01 Gnars Attacks
- 02 NZT48
- 03 Digital Renegade
- 04 Endless Sky (ft. Danny Worsnop)
- 05 Underneath Every Smile
- 06 Mystery Wall
- 07 iBelieve
- 08 Summer Died In Connersville
- 09 Electric Forest (ft. Cassadee Pop)
- 10 Filth Friends Unite
I See Stars - Digital Renegade
I See Stars - The End Of The World Party [2011]
Black Veil Brides - Wretched And Divine The Story Of The Wild On
- 01 - Exordium
- 02 - I Am Bulletproof
- 03 - New Years Day
- 04 - F.E.A.R. Transmission 1 Stay Close
- 05 - Wretched And Divine
- 06 - We Don`t Belong
- 07 - F.E.A.R. Transmission 2 Trust
- 08 - Devil`s Choir
- 09 - Resurrect The Sun
- 10 - Overture
- 11 - Shadows Die
- 12 - Abeyance
- 13 - Days Are Numbered
- 14 - Done For You
- 15 - Nobody`s Hero
- 16 - Lost It All
- 17 - F.E.A.R. Transmission 3 As War Fades
- 18 - In The End
- 19 - F.E.A.R Final Transmission
Silent Hill Revelation 2012
"Silent Hill: Revelation 3D" melanjutkan kisah yang tertinggal dari film pertamanya. Setelah peristiwa mencekam yang menjebak sang Ibu Rose De Silva (Radha Mitchell) selamanya terkurung di Silent Hill, Sharon (Adelaide Clemens) yang akhirnya berhasil diselamatkan, kini hanya tinggal bersama sang Ayah, Christopher (Sean Bean). Selama bertahun-tahun, mereka hidup berpindah-pindah dan berganti identitas untuk menyelamatkan diri dari teror yang sama yang mereka alami dulu. Sharon menjadi Heather Mason, dan Christopher menjadi Harry Mason dalam identitas terbaru mereka. Heather kerapkali masih dihantui oleh mimpi buruk yang memanggilnya untuk kembali ke Silent Hill.
Mimpi terburuknya kemudian muncul ketika tak lama berselang dari ulang tahunnya ke-18, Harry Mason tiba-tiba menghilang. Hilangnya sang Ayah kemudian menggiring Heather untuk mencarinya ke Silent Hill. Dengan bantuan dari kawan baru di sekolahnya Vincent (Kit Harrington) yang seperti menyimpan misteri sendiri tentang tempat terkutuk tersebut, Heather kemudian kembali ke Silent Hill. Kini ia harus kembali menemui makhluk-makhluk mengerikan dalam dunia penuh keheningan mencekam tersebut. termasuk menemui panggilannya untuk bertemu dan mengalahkan "separuh dirinya" yang masih menyimpan dendam kesumat dan menguasai Silent Hill, Alessa. read more >>
Heather Mason (Adelaide Clemens) dan ayahnya, Christopher Da Silva (Sean Bean) bertahun-tahun dalam pelarian hingga dimalam ulang tahunnya ke-18, Christopher menghilang.
Heather mendapati dirinya hidup dalam kebohongan dan perjalanan melalui dimensi lain di Silent Hill, dimana sebuah kultus dipimpin oleh Claudia Wolf (Carrie-Anne Moss)dan Leonard Wolf (Malcolm McDowell) sebagai pemegang kekuasaan. Dia harus mencoba melarikan diri dari dunia iblis tersebut atau terjebak disana selamanya
Genre : Horor, Misteri
Tanggal Rilis Perdana : 26 Oktober 2012
Durasi : 94 min.
Studio : Open Road Films
Official Site
Tanggal Rilis Perdana : 26 Oktober 2012
Durasi : 94 min.
Studio : Open Road Films
Official Site
CAST & CREW
Sutradara : Michael J. Bassett
Produser : Samuel Hadida, Don Carmody
Penulis Naskah : Michael J. Bassett
Pemain :
Adelaide Clemens, Kit Harington, Sean Bean, Radha Mitchell, Deborah Kara Unger, Carrie-Anne Moss, Malcolm McDowell
Produser : Samuel Hadida, Don Carmody
Penulis Naskah : Michael J. Bassett
Pemain :
Adelaide Clemens, Kit Harington, Sean Bean, Radha Mitchell, Deborah Kara Unger, Carrie-Anne Moss, Malcolm McDowell
Subtitle Indoensia
by http://sebuah-dongeng.blogspot.com/ --- http://IDFL.US
Download Subtitle Indonesia
I3 Intel Core Processor + Nvidia 600 series
Spesifikasi Notebook dengan prosesor i3 dan Nvidia 600 merupakan kategori paling minimal dan murah untuk main game-game pc keluaran sekarang. Baik itu merek Acer, Asus, dsb. Dengan bantuan GPU Nvidia Graphics maka akan mempermudah kelancaran anda dalam bermain game. Walau settingan nya tidak bisa begitu Full Graphics apalagi Ultra. namun kualitas Medium pun bagi Notebook yang Ukuran layarnya cuma 1366x768 sudah sangat cukup, RAM yang diperlukan 2GB pun cukup, untuk main Game kayaknya gak perlu di upgrade lagi RAM nya kecuali untuk Editting Video atau Sound Studio.
Bagi Notebook dengan Spec diatas, sudah saya uji dengan Game-game berikut Dengan OS Windows8 x86 Pake LG HDTV21 inc RGB :
1. Dynasty Warrior 6 (Extrime Legend)
Resolusi 1600x900 Full High Quality, Lumayan lancar
2. NFS Hot Persuit
Resolusi 1366x768 HD Graphics, High Shadow, Efec-Blur, 1.5 Sur/Sound, Lancar
3. DMC Devil May Cry
Resolusi 1600x900 All High plus HD Graphics, Lancar
4. Assassins Creed III
Resolusi 1366x768 All setting Normal,
5. ACE COMBAT
Resolusi 1600x900 Optimal Setting. Lancar
6. Fifa 13
Resolusi 1366x768 High + sync, Lancar
Dsb... kyaknya masih kuat kecuali game GTA IV, Call of Duty, Battle Field, Resident Evil Raconcity, NFS The RUN, SPIDERMAN amazing, terpaksa menggunakan resolusi LOW untuk memainkannya agar optimal dan tetap nyaman...
Jurnalisme Yang Peka Gender dan Paham tentang Kebebasan Pers dan UU Pomografi
Maka dibutuhkan
jurnalisme yang peka gender dan punya empati yang tinggi sekali. Perempuan
sesungguhnya bukan hanya menghadapi musuh lama (laki-laki) tetapi musuh baru
yang jauh lebih perkasa, yakni kapitalisme. Laki-laki bahkan telah dimanfaatkan
oleh kapitalisme untuk bersama-sama melestarikan struktur hubungan gender yang
timpang. Pelestarian ketimpangan hubungan itu tidak hanya menyebabkan perempuan
semakin tersubordinasi, tapi juga menyebabkan subordinasi perempuan oleh
perempuan sendiri. Jurnalis(me) yang peka gender dengan demikian memang tak
mengenal pembagian kerja secara seksual. Dalam banyak kasus, tak sedikit
jurnalis laki-laki yang justru memiliki kepekaaan gender dalam pemberitaan yang
mereka buat. Sedang di sisi lain cukup banyak jurnalis perempuan yang justru
tidak memiliki kepekaan gender dalam berita-berita yang mereka tulis. Sudah
tentu, persoalannya bukan sekadar jurnalis laki-laki atau jurnalis perempuan
yang paling tepat untuk meliput peristiwa kekerasan terhadap perempuan. Yang
dibutuhkan adalah suatu metode kerja jurnalis(me), yang mampu menghasilkan
informasi jurnalisme yang berperspektif gender.
Penerapan
jumalisme empati melalui metode reportase dalam mengeksplorasi fakta-fakta
publik melalui sudut pandang (angle) dan fokus perhatian (focus interest). Kedua
hal saling berkaitan, yaitu sudut pandang merupakan pilihan dalam menentukan
sasaran yang akan dijadikan sebagai subyek sebagai titik tolak dalam menentukan
sasaran yang akan dijadikan subyek sebagai titik tolak dalam pemaparan berita
(news story). Manakala yang dijadikan subyek adalah korban dalam relasi sosial,
maka untuk mendapatkan gambaran tentang fakta situasi sosial korban ini. Yang
harus dilakukan sekarang adalah :
1> Mengikutsertakan
para jurnalisme dalam kegiatan “pencerahan” yang diselenggarakan LSM ataupun
juga pemerintah kita sendiri.
2> Menggalang
solidaritas masyarakat untuk memboikot surat kabar yang tidak mau mengubah orentasi
pemberitaan mereka agar peka gender. Bentuk boikot masyarakat bisa dengan
berhenti berlangganan atau membeli secara eceran, atau bahkan memutuskan sama
sekali tidak membaca surat kabar bersangkutan.
Pers sebagai
cerminan harus bisa menunjukkan citra positive nya dalam kehidupan
bermasyarakat. Pers Indonesia harus lebih meningkatakan kesadarannya akan citra
positive itu terutama menyangkut dalam pemberitaan yang berbau pornografi.
Harus menaati dan mematuhi Undang- Undang Pornografi yang baru saja di tetapkan
di Indonesia ini.
Idelogi Patriakhi
Disebutkan bahwa
laki-laki berada di “atas” (mendominasi) perempuan, dan karena itu perempuan
berada “dibawah” (subordinasi) laki-laki. Kontruksi sosial seperti inilah
kemudian lebih populer dengan sebutan ideologi patriarkhi. Persoalan yang
kemudian muncul adalah, bisakah ideologi patriarkhi diatas digusur oleh
ideologi lain yang lebih menghargai perempuan? Bisa, tapi dengan syarat :
(i) Ideologi patriarkhi tidak bisa lagi dimengerti
masyarakat;
(ii) Ideologi patriarkhi tidak lagi menjadi perekat
masyarakat;
(iii) Ideologi patriarkhi tidak terwujud dalam
norma-norma, larangan-larangan, symbol-simbol, aturan-aturan masyarakat.
Sesungguhnya
ideologi patriarkhi tersebut bukan sesuatu yang diberikan pada satu masyarakat,
melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang melalui proses interpretasi dan
reinterpretasi berbagai pengalaman dalam kehidupan masyarakat. Artinya, kalau
interpretasi dan reinterpretasi berbagai pengalaman dalam kehidupan masyarakat
yang menerapkan ideologi patriarkhi menunjukkan hasil yang negatif, maka
ideologi tersebut bisa digantikan oleh ideologi lain. Untuk itu, berbagai pihak
perlu menginterpretasikan dan mereinterpretasikan berbagai pengalaman yang
menunjukkan kepedihan, ketertindasan dan kenistaan yang disebabkan oleh
penerapan ideologi patriarkhi.
Pornografi dalam Pers
Misalnya contoh
dalam sebuah tulisan media pers yang tidak kenal gender seperti ini : “Ditengah
rontaan sang gadis, tangan Es bekerja. Payudara milik korban ia remas dengan
nafsu. Tidak hanya sampai disitu, tangannya yang lain menelusup masuk ke celana
dalam gadis itu. Kemudian, telunjuk kanan pria dewasa itu masuk menjelajah
bagian terlarang yang selama ini dijaga sang gadis”. (Semarak,7/7/01).
Protes
masyarakat yang mengutuk peredaran tabloid dan majalah yang menyiarkan
gambar-gambar porno, terjadi di berbagai kota besar di Indonesia. Secara
atraktif, sejumlah demonstran membakar beberapa eksemplar tabloid yang
dihujatnya, sambil tidak lupa mengutuk pihak eksekutif dan legislatif yang
dianggap kurang aspiratif dalam memberantas soal pornografi. Persoalan
pornografi memang tak pernah usai diperdebatkan. Di kalangan pers sendiri
muncul perdebatan sengit menyangkut media yang kerap memajang gambar-gambar
yang mengeksploitasi tubuh wanita sekadar sebagai barang dagangan. Satu pihak
menganggap bahwa media yang gemar memasang foto sekwildapa wanita bukanlah
bagian dari jurnalisme. Argumennya karena jurnalisme tak berurusan dengan fakta
personal. Apalagi bagian dari fakta personal yang sangat pribadi, yang
semestinya tak perlu diumbar ke publik. Di sisi lain para pembela pers bebas,
sangat percaya bahwa mekanisme pasar akan menseleksi persoalan media lheeer
tersebut.
Terlepas dari
perdebatan tersebut, yang jelas, persoalan kekerasan terhadap wanita
(pornografi adalah termasuk salah satu bentuk kekerasan), tak melulu diproduksi
lewat bahasa visual. Media pers justru hampir setiap waktu melakukan kekerasan
terhadap wanita lewat teks-teks berita yang diproduksinya. Riset KIPPAS
terhadap pemberitaan peristiwa kekerasan (khususnya perkosaan) yang dialami
kaum wanita pada tujuh surat kabar yang terbit di Sumatera tahun 2001
memperlihatkan masih dominannya penggunaan diksi (kata) yang bersifat konotatif
ketika jurnalis mengkonstruksi peristiwa perkosaan. Dari sebanyak 98 item
berita yang dianalisis, sebanyak 62 item berita (63,26%) mengandung kekerasan
simbolik, dimana sebanyak 31 item berita (50%) mengandung eufimisme dan 16 item
berita (25,81%) berupa metafora. Jenis kekerasan simbolik lainnya adalah
stigmatisasi, disfemisme dan hiperbola.
Eufemisme
umumnya digunakan jurnalis untuk mengganti istilah perkosaan yang dialami
korban, sedangkan metafora digunakan untuk memperbandingkan korban, kecantikan
korban dan bagian tubuh korban dengan istilah atau benda-benda tertentu yang
sudah dikenal masyarakat. Dalam teks berita, eufemisme muncul dalam kata
seperti: menggagahi, meniduri, menggauli, mencicipi, mencabuli, menodai,
dintimi, dihamili, di perawani, diesek-esek, berindehoy, dibor, memaksakan
kehendak, berbuat hal yang sama, ambil bagian, minta jatah, merenggut kesucian,
dikerjai, lubang terlarang, diobok-obok dan metafora muncul dalam kata seperti:
pagar makan tanaman, habis manis sepah dibuang, menghabisi, memetik kegadisan,
menggarap, mahkota berharga, naik ke bulan dan kembang desa.
Pilihan kata
atau ungkapan-ungkapan konotatif, umumnya dilakukan jurnalis dengan alasan
untuk menghindari kebosanan publik ketika membaca berita perkosaan tersebut.
Ada juga yang berpendapat untuk memperkaya gaya penulisan berita mereka.
Argumen lain adalah agar pembaca tersedot perhatiannya. Dan itu mesti dengan
bumbu: sex and crime! Jurnalis lain beragumen bahwa kekayaan diksi juga
menunjukkan kekayaan intelektual mereka. Namun sayang, tak cukup banyak
jurnalis yang memperhitungkan implikasi sosiologis dari pilihan kata yang
mereka tulis. Pilihan kata yang konotatif tersebut justru akan melahirkan
pemahaman yang berbeda dari publik. Khususnya terhadap tindak kejahatan
perkosaan itu sendiri.
Selain itu,
ketika menulis berita perkosaan, para jurnalis umumnya juga gemar menggunakan
bahasa-bahasa yang merangsang imaji pembaca. Contohnya kalimat seperti
telentang tanpa memakai pakaian dan membuka celananya. Menurt Yasraf A.
Pilliang, kalimat tersebut memang mempunyai nilai ekonomi libido yang tinggi,
karena memikat pembaca untuk berfantasi terhadap jalannya perkosaan. Selain
mengungkapkan ‘ketelanjangan’, kata-kata itu sendiri sudah merupakan sebuah ‘ketelanjangan
bahasa’ (naked language) atau ‘kecabulan bahasa’ (language obscenity),
sebagaimana yang dimaksud Jean Baudrillard. Tidak ada lagi tabir, tidak ada lagi
rahasia, tidak ada lagi yang disembunyikan oleh bahasa, semuanya diungkapkan,
inilah kecabulan (dan sekaligus kekerasan) informasi.
Contoh
penggunaan diksi lain yang konotatif adalah melalui ungkapan metafora yang
umumnya digunakan dalam dunia fiksi. Contohnya mengajak “naik ke bulan”.
Sebagai sebuah metafora untuk menjelaskan proses persetubuhan, kata-kata naik
ke bulan dapat dimasukkan ke dalam apa yang disebut Ricoeur sebagai ‘metafora
menyimpang’ (deviant metaphor). Sebagai sebuah tanda pinjaman (transferred
sign), kata-kata tersebut telah kehilangan makna lateral maupun konotatif.
Tidak ada sama
sekali makna konotatif yang muncul dari kata bulan, misalnya konotasi ‘tindak
seksual’, atau ‘feminin’. Metafora tersebut mungkin digunakan untuk merepresentasikan
‘kepuasan puncak’. Bila memang demikian, ia telah meredusir sebuah perkosaan
sebagai sebuah ‘kesenangan bersama’, oleh karena kedua pihak bersama-sama ‘naik
ke bulan’. Metafora digunakan di sini, bukan untuk menggiring ke arah kebenaran
makna, akan tetapi untuk menciptakan deviasi dan distorsi makna yang sangat
jauh.
Inilah
kemiskinan intelektual di kalangan pers yang menyalahgunakan kebebasannya dalam
bekerja. Media pers memang dapat menjadi reflektor dari ketidakadilan gender
dalam masyarakat karena mengambil fakta sosial tanpa disertai perspektif. Hal
ini mengakibatkan fakta sosial dijadikan sekadar sebagai komoditas informasi
media. Dengan kata lain, fakta perempuan sebagai komoditas di ruang publik,
diangkat sebagai komoditas media, sehingga media bukan hanya merefleksikan,
tetapi telah mereplika fakta tersebut. Sebagai replikator, media menggandakan
ketidakadilan struktural, sebab komodifikas perempuan berlangsung dua tahap,
pertama pada saat menjadi fakta sosial dan kedua setelah menjadi fakta media
(informasi). Ini terjadi dengan pengambilan detail dari fakta dalam kerangka
alam pikiran patriarkhi. Penampilan fitur bagian tubuh perempuan untuk tujuan
kesenangan laki-laki misalnya, dapat disebut sebagai eksploitasi perempuan
dalam kerangka patriarkhi.
Persoalannya,
bagaimana proses komodifikasi informasi sampai menjadi “ideology” dominan para
jurnalis? Apakah semata karena karena persoalan subyektifitas persepektif
terkait dengan “kemiskinan intelektual” yang diidap para jurnalis? Atau lebih karena
bekerjanya sistem nilai dominan di masyarakat, dimana para jurnalis berfungsi
sebagai konsumen sekaligus produsen yang mereplikasi sistem nilai yang dominan
tersebut? Pertanyaan selanjutnya adalah: sistem nilai seperti apa yang dominan
dianut oleh masyarakat? Jawabannya adalah keduanya: ya kemiskinan intelektual,
ya karena ideologi patriakhi.
Langganan:
Postingan (Atom)