Maka dibutuhkan
jurnalisme yang peka gender dan punya empati yang tinggi sekali. Perempuan
sesungguhnya bukan hanya menghadapi musuh lama (laki-laki) tetapi musuh baru
yang jauh lebih perkasa, yakni kapitalisme. Laki-laki bahkan telah dimanfaatkan
oleh kapitalisme untuk bersama-sama melestarikan struktur hubungan gender yang
timpang. Pelestarian ketimpangan hubungan itu tidak hanya menyebabkan perempuan
semakin tersubordinasi, tapi juga menyebabkan subordinasi perempuan oleh
perempuan sendiri. Jurnalis(me) yang peka gender dengan demikian memang tak
mengenal pembagian kerja secara seksual. Dalam banyak kasus, tak sedikit
jurnalis laki-laki yang justru memiliki kepekaaan gender dalam pemberitaan yang
mereka buat. Sedang di sisi lain cukup banyak jurnalis perempuan yang justru
tidak memiliki kepekaan gender dalam berita-berita yang mereka tulis. Sudah
tentu, persoalannya bukan sekadar jurnalis laki-laki atau jurnalis perempuan
yang paling tepat untuk meliput peristiwa kekerasan terhadap perempuan. Yang
dibutuhkan adalah suatu metode kerja jurnalis(me), yang mampu menghasilkan
informasi jurnalisme yang berperspektif gender.
Penerapan
jumalisme empati melalui metode reportase dalam mengeksplorasi fakta-fakta
publik melalui sudut pandang (angle) dan fokus perhatian (focus interest). Kedua
hal saling berkaitan, yaitu sudut pandang merupakan pilihan dalam menentukan
sasaran yang akan dijadikan sebagai subyek sebagai titik tolak dalam menentukan
sasaran yang akan dijadikan subyek sebagai titik tolak dalam pemaparan berita
(news story). Manakala yang dijadikan subyek adalah korban dalam relasi sosial,
maka untuk mendapatkan gambaran tentang fakta situasi sosial korban ini. Yang
harus dilakukan sekarang adalah :
1> Mengikutsertakan
para jurnalisme dalam kegiatan “pencerahan” yang diselenggarakan LSM ataupun
juga pemerintah kita sendiri.
2> Menggalang
solidaritas masyarakat untuk memboikot surat kabar yang tidak mau mengubah orentasi
pemberitaan mereka agar peka gender. Bentuk boikot masyarakat bisa dengan
berhenti berlangganan atau membeli secara eceran, atau bahkan memutuskan sama
sekali tidak membaca surat kabar bersangkutan.
Pers sebagai
cerminan harus bisa menunjukkan citra positive nya dalam kehidupan
bermasyarakat. Pers Indonesia harus lebih meningkatakan kesadarannya akan citra
positive itu terutama menyangkut dalam pemberitaan yang berbau pornografi.
Harus menaati dan mematuhi Undang- Undang Pornografi yang baru saja di tetapkan
di Indonesia ini.