Sekilas Perkembangan Jurnalistik

     Pada zaman pemerintahan Cayus Julius Caesar (100-44 SM) di negaea Romawi, dipancangkan beberapa papan tulis putih di lapangan terbuka di tempat rakyat berkumpul. Papan tulis yang disebut Forum Romanum itu berisi pengumuman-pengumuman resmi. Menurut isinya, papan pengumuman ini dapat dibedakan atas dua macam. Pertama, Acta Senatus yang memuat laporan-laporan singkat tentang sidang-sidang senat dan keputusan-keputusannya. Kedua, Acta Diurna Populi Romawi yang memuat keputusan-keputusan dari rapat-rapat rakyat dan berita-berita lainnya.
 
1.      Kelahiran Wartawan Pertama
Pada zaman Romawi inilah, lahir wartawan-wartawan pertama. Wartawan-wartawan ini terdiri atas budak-budak belian yang oleh pemiliknya diberi tugas mengumpulkan informasi, berita-berita, bahkan juga menghadiri sidang-sidang senat dan melaporkan semua hasilnya baik secara lisan maupun dengan tulisan. Surat kabar cetakan baru terbit pada tahun 911 di Cina. Namanya King Pau. Surat kabar milik pemerintah yang diterbitkan dengan suatu peraturan khusus dari Kaisar Quang Soo ini, mula-mula terbitnya tidak tetap, tetapi mulai tahun 1351 sudah terbit seminggu sekalinya. Isinya adalah keputusan-keputusan rapat-rapat permusyawaratan dan berita-berita dari istana.

2.      Jurnalistik di Eropa
Di Eropa, kapan surat kabar cetakan terbit untuk pertama kalinya dan siapa penerbitnya, tidak begitu jelas. Teapi pada tahun 1605 Abraham Verhoeven di Antwerpen, Belgia, mendapat izin untuk mencetak Nieuwe Tijdinghen. Baru pada tahun 1617 selebaran ini terbit dengan teratur yaitu 8-9 hari sekali. Tahun 1620 sudah memakai nomor urut dan nama yang tetap Nieuwe Tijdinghen. Bentuknya seperti buku dari delapan halaman, formatnya kecil seperti format selebaran, judul beritanya panjang-panjang, di bawahnya terdapat kata-kata yang menarik dengan huruf-huruf tebal. Pada tahun 1629 Nieuwe Tijdinghen berganti nama menjadi Wekelijksche Tijdinghen. Pada masa peralihan surat selebaran  menjadi surat kabar, Verhoeven telah melengkapi isinya dengan segala macam peristiwa. Di Jerman, terbit surat kabar pertama bernama Avisa Relation Order Zeitung pada tahun 1609. Pada tahun yang sama juga terbit surat kabar Relation di Strassburg. Di Belanda, surat kabar tertua bernama Courante Uyt Italien en Duytschland terbit pada tahun 1618. Di Inggris, surat kabar oertama bernama Curant of General news terbit  pada 1662. Di Perancis, pemerintah menerbitkan surat kabar Gasette de France pada 1631. Di Italia sudah ada surat kabar pada 1636. Semua surat kabar cetakan tersebut terbit sekali seminggu.

3.      Zaman Penjajahan di Indonesia
Di Indonesia, aktivitas jurnalistik dapat dilacak jauh ke belakang sejak zaman penjajahan Belanda. Di Indonesia jurnalistik pers mulai dikenal pada abad 18, tepatnya pada 1744. Menginjak abad ke 19, terbit sebagai surat kabar lainnya yang kesemuanya masih dikelola oleh orang-orang Belanda untuk para pembaca orang Belanda atau bangsa pribumi yang mengerti bahasa Belanda, yang pada umumnya merupakan kelompok kecil saja. Sedangkan surat kabar pertama sebagai bacaan untuk kaum pribumi dimulai pada 1854 ketika majalah Bianglala diterbitkan, disusul oleh  Bromartani pada tahun 1885. Sejarah jurnalistik pers pada abad 20, namanya Medan Prijaji, terbit di Bnadung. Medan Prajiji yang dimiliki dan dikelola oleh Tirto Hadisurjo alias Raden Mas Djokomono ini pada mulanya 1907, berbentuk mingguan. Baru tiga tahun kemudian, 1910, berubah menjadi harian. Tirto Hadisurjo inilah yang dianggap sebagai pelopor yang meletakkan dasar-dasar jurnalistik ,odern di Indonesia, baik dalam cara pemberitaan maupun dalam cara pemuatan karangan dan iklan.

4.      Dari Bulan Madu ke Gelap Gulita
Lima tahun kemudian, atau mulai 1950, pers Indonesia tergoda dan hanyut dalam dunia politik praktis. Mereka lebih banyak memerankan diri sebagai corong atau terompet partai-partai politi besar. Inilah yang disebut era pers partisan. Artinya, pers dengan sadar memilih untuk menjadi juru bicara sekaligus berperilaku seperti partai politik yang disukai dan didukungnya. Era pers partisan ternyata tidak berlangsung sama. Sejak Dekrit President 1 juli 1959, pers nasional memasuki masa gelap gulita. Setiap perusahaan penerbitan pers diwajibkan memiliki surat izin terbit (SIT). Lebih parah lagi, ketika setiap surat kabar diwajibkan menginduk (berafiliasi) pada organisasi politik atau organisasi massa. Akibat kebijakan ini, tidak kuran dari 80 surat kabar pada waktu itu dimiliki oleh sembilan partai politik dan organisasi massa. Baru beberapa bulan peraturan itu berjalan, kemudian lahir peraturan baru yang mempersempit ruang gerak para wartawan yang hendak mengeluarkan pikiran dan pendapatnya, klimaksnya adalah pemberontakan PKI pada 30 September 1965 dengan nama G30S. Gerakan itu berhasil ditumpas oleh rakyat bersama TNI dan mahasiswa.

5.      Kebebasan Jurnalistik Pasca 1965
Sejak 1965 itulah terjadi perubahan besar dalam dunia jurnalistik Indonesia. Pada mulanya, perkembangan itu disebabkan oleh tiga hal. Pertama, peristiwa-peristiwa tegang yang terjadi setelah G30S/PKI. Kedua, kebebasan pers yang menjadi lebih leluasa dibandingkan dengan periode sebelumnya. Ketiga, barangkali juga embrio sikap profesionalisme dalam redaksi dan dalam pengelolaan bisnis berupa sirkulasi, iklan, serta pengelolaan keuangan.
Dalam perkembangannya lebih lanjut, terjadilah perubahan. Tidak saja dalam iklim sosial-politik, tetapi juga dalam iklim sosial-ekonomi dan sosial-budaya yang berlainan dari periode sebelumnya dan mempunyai dampak besar terhadap pertumbuhan pers. Pada mulanya berkembang situasi konflik yang membawa ketegangan dimana-mana dan dalam berbagai sistem masyarakat, sehingga masyarakat terangsang untuk mencari informasi lewat pers. Kemudian terjadilah proses lahir dan didebatkannya gagasan-gagasan politik, ekonomi, dan kebudayaan baru : proses yang menyuburkannya pertumbuhan pers yang sanggup menangkapnya. Surutnya partai-partai dan berkembangnya embrio ide profesionalisme, yang diterjemahkan antara lain orientasi independen dalam pers, menjadi tempat, sekaligus pemupuk, timbulnya surat-surat kabar yang semakin cenderung untuk mengambil distansi dari organisasi politik dan menumbuhkan kebijakan editorial yang relatif independen. Akibat pengembangan ekonomi pasar bebas yang dijalankan oleh pemerintah, sejumlah kecil surat kabar baik di ibukota maupun di beberapa kota besar di daerah, berhasil meraih sejumlah besar iklan yang saling mempertarungkan mutu produk serta jasa. Selama sua dasawarsa pertama Orde Baru, 1965-1985, kebebasan jurnalistik di Indonesia, memang bisa disebut lebih banyak bersinggungan dengan dimensi, unsur, nilai, dan ruh politik. Sebagai sarana ekonomi, pers dapat hidup dengan subur. Tetapi sebagai wahana ekspresi, penyalur pendapat umum, sekaligus sebagai pengembangan fungsi kontrol sosial, pers Indonesia dihadapkan pada berbagai pembatasan dan tekanan dari pihak penguasa daerah dan pusat. Orde baru sangat menyanjung ekonomi sekaligus sangat alergi dan bahkan membenci politik. Bagi Orde Baru, Pers identik dengan politik. Sejarah menunjukkan, dalam lima tahun pertama kekuasaannya sangat represif dan hegemonik, Orde baru bisa disebut sangat bersahabat dengan pers. Fungsi utama pers sebagai komunikator informasi telah mengalami kemunduran sehingga yang lebih menonjol adalah fungsinya yang lain sebagai sarana hiburan. Dengan demikian fungsinya yang ketiga sebagai alat pendidikan informal mengalami kepincangan terutama dalam bidang pendidikan politik, karena terbatasnya kesempatan untuk membahas masalah-masalah kenegaraan serta gejolak sosial dalam forum terbuka. Dari waktu ke waktu media massa memang berhasil mengkomunikasikan berbagai gejala dan persoalan yang timbul dalam masyarakat kepada khalayak pembaca, pendengar, atau penonton. Kebebasan jurnalistik, kebebasan pers, dalam dua hari tiga dasawarsa kekuasaan monolotik Orde Baru, hanya lebih banyak memunculkan kisah sedih daripada kisah sukses yang sejalan dengan amanat para pendiri bangsa seperti dinyatakan dengan tegas dalam Pasal 28 UUD 1945. Dalam dasawarsa ketiga kekuasaan Orde Baru, kisah sedih itu masih terus berlanjut. Pembatasan dan bahkan pemberedelan terhadap pers terus berlangsung. Inilah yang disebut sebagai era pers tiarap Orde Baru. Orde Barupun akhirnya tumbang pada 21 Mei 1988. Lahirlah kemudian apa yang disebut Orde Reformasi.

6.      Jurnalisrik dalam Orde Reformasi
Kelahiran Orde Reformasi sejak 21 Mei setelah Soeharto menyerahkan jabatan president kepada wakilnya BJ Habibie, disambut dengan penu sukacita oleh seluruh rakyat Indonesia. Terjadilah euforia di mana-mana. Kebebasan jurnalistik berubah secara drastis menjadi menjadi kemerdekaan jurnalistik. Departemen penerangan sebagai malaikat pencabut nyawa pers, dengan serta merta di bubarkan. Secara Yuridis, UU Pokok Pers No.21/1982 pun diganti dengan undang-undang  dan pemerintahan baru, siapa pun bisa menjadi wartawan dan masuk dalam organisasi pers mana pun. Tak ada lagi kewajiban hanya menginduk kepada satu organisasi pers. Seperti ditegaskan pasal 9 ayat (1) UU pokok Pers No. 40/1999, setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers. Pada pasal yang sama ayat berikutnya (2) ditegaskan lagi, setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. Kewenangan yang dimiliki pers nasional itu sendiri sangat besar. Menurut pasal 6 UU Pokok Pers No. 40/1999, pers nasional melaksanakan peranannya. Dalam era reformasi, kemerdekaan pers benar-benar dijamin dan senantiasa diperjuangkan untuk diwujudkan. Semua komponen bangsa memiliki komitmen yang sama: pers harus merdeka. Secara kuantitatif, dalam lima tahun pertama era reformasi, 1998-2003, jumlah perusahaan penerbitan pers di Indonesia mengalami pertumbuhan sangat pesat. Harus diakui,  hasrat dan minat masyarakat menerbitkan pers dalam lima tahun pertama masa reformasi bagai jamur di musim hujan. Kecenderungan maraknya penerbitan pers sebagai dampak langsung reformasi itu, ternyata tidak berlangsung lama. Dari seluruh perusahaan penerbitan pers baru, 70 persen gulung tikar paling lama pada tahun ke tiga, 20 persen berikutnya tutup layar pada tahun ke empat, dan hanya 10 persen saja yang masih mencoba terus bertahan melewati tahun ke lima. Kenyataan tersebut menunjukkan, kemerdekaan yang diraih pers secara ideologis dan politis dalam era reformasi sejak 1998 di Indonesia, tidak serta merta mengantarkan pers nasional pada zaman keemasan. Secara historis, pers Indonesia yang dulu dikenal dan menamakan diri sebagai pers perjuangan, dilahirkan untuk hidup. Sekali layar berkembang, pantang surut ke belakang. Atas dasar itulah pers nasional yang sekarang tetap terbit dan terus bertahan di seluruh pelosok Indonesia, berusaha untuk senantiasa merujuk pada pedoman filosofis itu.

7.  Pers Indonesia Menggengam Bara 
Pers Indonesia Menggenggam Bara. Judul itulah yang ditampilkan ketika mengangkat laporan hasil jajak pendapat (polling) memperingati Hari Pers Nasional 9 Februari 2005. Jajak pendapat yang diselenggerakan Litbang Kompas, 2-3 Februari 2005 itu, dilakukan terhadap 872 responden berusia minimal 17 tahun dengan menggunakan metode pencuplikan sistematis dari buku telepon terbaru. Dengan menggunakan metode ini, pada tingkat kepercayaan 95 persen, nirpencuplikan penelitian 3,3 persen. Litbang Kompas mengingatkan, hasil jajak pendapat yang dilakukannya tidak dimaksudkan untuk mewakili pendapat seluruh masyarakay di negeri. Di satu sisi, runtuhnya kekuasaan represif Orde Baru membuat dunia pers menikmati masa gemilang dengan kebebasan yang seolah tak terbatas. Namun, di sisi lain, liberalisasi pada akhirnya mengundang kekhawatiran publik. Apresiasi yang tinggi dari publik terhadap era kebebasan pers saat ini, ternyata tidak membebaskan pers dari munculnya masalah baru, yakni dampak-dampak negatif dari kebebasan dan industrialisasi pers. Dari penilaian publik terhadap kiprah surat kabar, secara umum telihat bahwa mayoritas responden, 84 persen, menilai pemberitaansurat kabar saat ini lebih daripada saat awal era reformasi. Peningkatan yang terjadi mencangkup unsur kualitas dan kuantitas terlihat, sebagian besar responden, 74 persen, menilai kini surat kabar semakin lengkap dalam menyajikan informasi peristiwanya. Kemajuan dalam bidang grafis, komputer, dan mesin cetak menjadikan surat kabar masa kini secara fisik lebih variatif dan menarik. Pada bentuk media yang lain, yaitu televisi, reaksi yang lebih kuat dilontarkan publik meskipun substansinya relatif sama. Proporsi responden yang lebih besar, 80 persen, menyatakan puas dengan tayangan pemberitaan televisi. Pemberitaan televisi saat ini lebih dinilai tanggap, lugas, dan komprehensif dibandingkan dengan masa sebelumnya. Sedangkan tentang kekuatan modal dibalik berbagai stasiun televisi saat ini yang masih dimiliki segelintir konglomerat lama, sebagian besar responden, 69 persen, menyatakan media televisi kini semakin transparan dalam pemberitaan. Berdasarkan hasil jajak pendapat, media elektronik, dalam hal televisi, menjadi pihak yang dianggap paling berpengaruh dalam menyebarkan dampak negatif  kebebasan dewasa ini. Berbagai tayangan televisi yang mengandung unsur pornografi, kekerasan, dan berita-berita sensasi (gosip), dinilai sudah jauh dari kewajaran. Pandangan ini disuarakan responden dengan proporsi 61-69 persen. Dari proporsi responden terlihat, 71 persen responden menganggap, dalam beberapa persoalan, surat kabar memberi pengaruh yang relatif lebih baik kepada nilai-nilai masyarakat, sementara dukungan pada televisi hanya dilontarkan 51 persen. Hasil jajak pendapat menunjukkan, berbagai peristiwa hukum akibat tugas jurnalistik masih diselesaikan dengan dasar hukum umum, seperti KUHP dan KUH Perdata. Sebanyak 47 persen responden menilai perlindungan kepada pers memang belum memadai, sementara yang menganggap sebaliknya 40 persen. Penilaian ini menggambarkan, kebebasan pers yang digenggam masih mengandung bara yang dapat menghanguskan dirinya sendiri. Cukup banyak sisi terang dari hasil kinerja jurnalistik Indonesia dalam tujuh tahun pertama era reformasi. Namun juga harus diakui, tak sedikit sisi gelap yang masih menyimpan persoalan, gugatan, dan bahkan ancaman yang cukup mengerikan. Tapi, bagi pers Indonesia, seperti juga sudah teruji dan terbuktikan dalam sejarah, tak ada istilah kalah atau menyerah untuk menghadapi apapun tantangan dan ancaman yang muncul. Kebebasan dan kebenaran, di manapun, memang harus terus diperjuangkan.