Misalnya contoh
dalam sebuah tulisan media pers yang tidak kenal gender seperti ini : “Ditengah
rontaan sang gadis, tangan Es bekerja. Payudara milik korban ia remas dengan
nafsu. Tidak hanya sampai disitu, tangannya yang lain menelusup masuk ke celana
dalam gadis itu. Kemudian, telunjuk kanan pria dewasa itu masuk menjelajah
bagian terlarang yang selama ini dijaga sang gadis”. (Semarak,7/7/01).
Protes
masyarakat yang mengutuk peredaran tabloid dan majalah yang menyiarkan
gambar-gambar porno, terjadi di berbagai kota besar di Indonesia. Secara
atraktif, sejumlah demonstran membakar beberapa eksemplar tabloid yang
dihujatnya, sambil tidak lupa mengutuk pihak eksekutif dan legislatif yang
dianggap kurang aspiratif dalam memberantas soal pornografi. Persoalan
pornografi memang tak pernah usai diperdebatkan. Di kalangan pers sendiri
muncul perdebatan sengit menyangkut media yang kerap memajang gambar-gambar
yang mengeksploitasi tubuh wanita sekadar sebagai barang dagangan. Satu pihak
menganggap bahwa media yang gemar memasang foto sekwildapa wanita bukanlah
bagian dari jurnalisme. Argumennya karena jurnalisme tak berurusan dengan fakta
personal. Apalagi bagian dari fakta personal yang sangat pribadi, yang
semestinya tak perlu diumbar ke publik. Di sisi lain para pembela pers bebas,
sangat percaya bahwa mekanisme pasar akan menseleksi persoalan media lheeer
tersebut.
Terlepas dari
perdebatan tersebut, yang jelas, persoalan kekerasan terhadap wanita
(pornografi adalah termasuk salah satu bentuk kekerasan), tak melulu diproduksi
lewat bahasa visual. Media pers justru hampir setiap waktu melakukan kekerasan
terhadap wanita lewat teks-teks berita yang diproduksinya. Riset KIPPAS
terhadap pemberitaan peristiwa kekerasan (khususnya perkosaan) yang dialami
kaum wanita pada tujuh surat kabar yang terbit di Sumatera tahun 2001
memperlihatkan masih dominannya penggunaan diksi (kata) yang bersifat konotatif
ketika jurnalis mengkonstruksi peristiwa perkosaan. Dari sebanyak 98 item
berita yang dianalisis, sebanyak 62 item berita (63,26%) mengandung kekerasan
simbolik, dimana sebanyak 31 item berita (50%) mengandung eufimisme dan 16 item
berita (25,81%) berupa metafora. Jenis kekerasan simbolik lainnya adalah
stigmatisasi, disfemisme dan hiperbola.
Eufemisme
umumnya digunakan jurnalis untuk mengganti istilah perkosaan yang dialami
korban, sedangkan metafora digunakan untuk memperbandingkan korban, kecantikan
korban dan bagian tubuh korban dengan istilah atau benda-benda tertentu yang
sudah dikenal masyarakat. Dalam teks berita, eufemisme muncul dalam kata
seperti: menggagahi, meniduri, menggauli, mencicipi, mencabuli, menodai,
dintimi, dihamili, di perawani, diesek-esek, berindehoy, dibor, memaksakan
kehendak, berbuat hal yang sama, ambil bagian, minta jatah, merenggut kesucian,
dikerjai, lubang terlarang, diobok-obok dan metafora muncul dalam kata seperti:
pagar makan tanaman, habis manis sepah dibuang, menghabisi, memetik kegadisan,
menggarap, mahkota berharga, naik ke bulan dan kembang desa.
Pilihan kata
atau ungkapan-ungkapan konotatif, umumnya dilakukan jurnalis dengan alasan
untuk menghindari kebosanan publik ketika membaca berita perkosaan tersebut.
Ada juga yang berpendapat untuk memperkaya gaya penulisan berita mereka.
Argumen lain adalah agar pembaca tersedot perhatiannya. Dan itu mesti dengan
bumbu: sex and crime! Jurnalis lain beragumen bahwa kekayaan diksi juga
menunjukkan kekayaan intelektual mereka. Namun sayang, tak cukup banyak
jurnalis yang memperhitungkan implikasi sosiologis dari pilihan kata yang
mereka tulis. Pilihan kata yang konotatif tersebut justru akan melahirkan
pemahaman yang berbeda dari publik. Khususnya terhadap tindak kejahatan
perkosaan itu sendiri.
Selain itu,
ketika menulis berita perkosaan, para jurnalis umumnya juga gemar menggunakan
bahasa-bahasa yang merangsang imaji pembaca. Contohnya kalimat seperti
telentang tanpa memakai pakaian dan membuka celananya. Menurt Yasraf A.
Pilliang, kalimat tersebut memang mempunyai nilai ekonomi libido yang tinggi,
karena memikat pembaca untuk berfantasi terhadap jalannya perkosaan. Selain
mengungkapkan ‘ketelanjangan’, kata-kata itu sendiri sudah merupakan sebuah ‘ketelanjangan
bahasa’ (naked language) atau ‘kecabulan bahasa’ (language obscenity),
sebagaimana yang dimaksud Jean Baudrillard. Tidak ada lagi tabir, tidak ada lagi
rahasia, tidak ada lagi yang disembunyikan oleh bahasa, semuanya diungkapkan,
inilah kecabulan (dan sekaligus kekerasan) informasi.
Contoh
penggunaan diksi lain yang konotatif adalah melalui ungkapan metafora yang
umumnya digunakan dalam dunia fiksi. Contohnya mengajak “naik ke bulan”.
Sebagai sebuah metafora untuk menjelaskan proses persetubuhan, kata-kata naik
ke bulan dapat dimasukkan ke dalam apa yang disebut Ricoeur sebagai ‘metafora
menyimpang’ (deviant metaphor). Sebagai sebuah tanda pinjaman (transferred
sign), kata-kata tersebut telah kehilangan makna lateral maupun konotatif.
Tidak ada sama
sekali makna konotatif yang muncul dari kata bulan, misalnya konotasi ‘tindak
seksual’, atau ‘feminin’. Metafora tersebut mungkin digunakan untuk merepresentasikan
‘kepuasan puncak’. Bila memang demikian, ia telah meredusir sebuah perkosaan
sebagai sebuah ‘kesenangan bersama’, oleh karena kedua pihak bersama-sama ‘naik
ke bulan’. Metafora digunakan di sini, bukan untuk menggiring ke arah kebenaran
makna, akan tetapi untuk menciptakan deviasi dan distorsi makna yang sangat
jauh.
Inilah
kemiskinan intelektual di kalangan pers yang menyalahgunakan kebebasannya dalam
bekerja. Media pers memang dapat menjadi reflektor dari ketidakadilan gender
dalam masyarakat karena mengambil fakta sosial tanpa disertai perspektif. Hal
ini mengakibatkan fakta sosial dijadikan sekadar sebagai komoditas informasi
media. Dengan kata lain, fakta perempuan sebagai komoditas di ruang publik,
diangkat sebagai komoditas media, sehingga media bukan hanya merefleksikan,
tetapi telah mereplika fakta tersebut. Sebagai replikator, media menggandakan
ketidakadilan struktural, sebab komodifikas perempuan berlangsung dua tahap,
pertama pada saat menjadi fakta sosial dan kedua setelah menjadi fakta media
(informasi). Ini terjadi dengan pengambilan detail dari fakta dalam kerangka
alam pikiran patriarkhi. Penampilan fitur bagian tubuh perempuan untuk tujuan
kesenangan laki-laki misalnya, dapat disebut sebagai eksploitasi perempuan
dalam kerangka patriarkhi.
Persoalannya,
bagaimana proses komodifikasi informasi sampai menjadi “ideology” dominan para
jurnalis? Apakah semata karena karena persoalan subyektifitas persepektif
terkait dengan “kemiskinan intelektual” yang diidap para jurnalis? Atau lebih karena
bekerjanya sistem nilai dominan di masyarakat, dimana para jurnalis berfungsi
sebagai konsumen sekaligus produsen yang mereplikasi sistem nilai yang dominan
tersebut? Pertanyaan selanjutnya adalah: sistem nilai seperti apa yang dominan
dianut oleh masyarakat? Jawabannya adalah keduanya: ya kemiskinan intelektual,
ya karena ideologi patriakhi.