Komunikasi Antar Budaya

Aktualisasi Nilai Keagamaan Dan Kepedulian Sosial
Satu Tinjauan komunikasi Antar-Budaya

   1.    Pengantar

     Agama adalah suatu ciri kehidupan manusia yanng universal, dalam arti bahwa semua masyaraka t mempunyai cara-cara berfikir dan dan pola-pola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut “agama” (religius). Banyak dari apa yang disebut agama termasuk dalam suprastruktur  agama terdiri dari pesan –pesan bertippe simbol, citra, kepercayaan, dan nilai-nilai spesifik akan tetapi, karena agama juga mengandung komponen ritual, maka sebagian agama tergolong juga dalam struktur sosial bahkan budaya suatu masyarakat.

            Berdasarkan pandangan itu, agama tidak melulu dipandang sebagai acara ritual yang bersifat rohani yang berurusan dengan kehidupan di dunia akhirat semata-mata, tetapi dia harus memasuki area struktur sosial dan budaya para pemeluk. Jadi ada hubungan yang erat antara agama dengan struktur sosial dan budaya para pemeluk.

            Tulisan ini tidak akan membahas hakikat agama berdasarkan pandangan teologi yang bukan wewenang keilmuan saya. Ulasan ini lebih banyak memberr gamabaran tentang bagaimana proses dan bentuk aktualisasi nilai agama dalam struktur sosial-budaya dalam suatu masyarakat (majemuk), terutama terhadap pengelutan sosial dewasa ini. Persoalan bersama yang sedang kita hadapi adalah bagaimana mendaratkan agama yang kerap kali “abstrak” itu dakam situasi sosial budaya suatu masyarakat hingga menjadikan peran agama lebih oprasional.

   2.    Beberapa masalah aktual agama masa kini 

Konsep “kepedulian sosial” selalu dicitrakan oleh masalah sosial temasuk masalah yang berkaitan dengan proses dan strategi untuk mengaktualisasi nilai abstrak suatu konsep yang telah disederhanakan sehingga menjadi lebih kongkrit agar mudah diterapkan dalam suatu konteks tertentu.

Aktualisasi nilai keagamaan dan kepedulian sosial adalah proses strategi untuk mengaktualisasi nilai keagama yang telaqh disederhanakan menjadi lebih konkret sehingga bisa dijadikan referensi teksnis dalam praktejk kehidupan demi pemecahan masalah sosial dan budaya tertentu. 

Berdasarkan gagasan itu maka paling tidak masalah aktualisasi nilai keagamaan dan kepedulian  sosial umat beragama harus dikaitkan dengan tiga aspek penting: (1) sejauh mana dimensi intern umat beragama; (2) sejauh mana dimensi ekstern ipolehsosbudhakam yang kemungkinan aktualisasi nilai agama; (3) bagaimana semua umat beragama mewujudkan nilai aktual agama sebagai bentuk kepedulian seosial dalam kondisi masyarakat tertentu.

Kegiatan “keresehan agamawan muda” yang sedang dilaksanakan sekarang ini, sadar ataupun tidak, dilandasi oleh pemikiran, kalau tidak mau dikatakan kecemasan, terhadap masa depan hubungan dan komunikasi antar manusia yang berasal dari latar belakang agama yang berbeda (interreligius communication). Peserta kalangan generasi muda mengindikasikan bahwa kedudukan mereka sangat penting karena sebagian besar harapan masa depan bangsa, masyarakat dan agama terletak dipundak mereka. Di pihak lain  kaum ini pun sangan rentan dengan tiga masalah yang teah digambarkan tersebut. Saya akan menunjukkan beberapa masalah intern dan ekstern umat beragama, baik yang bersifat global maupun nasional.
  
        Masalah intern umat beragama 

1.    Dalam skala global dapat dilihat semakin kuatnya kecenderungan reaksi-reaksi “negatif” dari sementara kalangan umat beragama yang berkonfrontasi dengan ajaran-ajaran agama. Mereka selalu mengajukan setu pertanyaan “klasik”, bagaimana seharusnya peranan agama yang mampu menjawab keinginan dan kebutuhan duniawi. Contoh, teologi pembebasan, agama Nuba Nara di Flores Timur, dan lain-lain. (Naisbit, 1996).
2.    Ada kecenderungan kuat pada sementara kalangan umat beragama untuk takluk pada sistem pengetahuan dan teknologi dan mulai mengurangi kepercayaan dan ketergantungan pada agam. Seperti kata Glock dan Stark (1965) misalnya ada kecenderungan samakin tinggi pengetahuan di kalangan intelektual seseorang semakin merosot mempercayainya pada agama.
3.    Semakin kuat dan cepatnya pertumbuhan dan perkembangan sikap konservatisme dari sementara pemimpin dan kalangan umat beragama yang menilai modernisasi telah gagal dan bahkan menjauhkan manusia dari nilai ajaran agama yang mereka anut. Tandanya antara semakin bertumbuh dan berkembang ajaran-ajaran agama kearah konservatif atau malah lebih realitis dalam bentuk sekte-sekte. Baik aliran yang konservatif maupun realistis selalu melihat agama yang ada sekarang terlalu mendunia dab terlalu mencampuri dan dicampuri oleh masalah dunia, atau ajaran-ajaran agama-agama sekarang masih di rasakan terlalu abstrak sehingga belum mampu menjawab masalah duniawi(Naisbit, 1996).
4.    Sementara kalangan umat beraggama menilai bahwa ajaran agama penuh dengan “sejuta larangan” bagi para pemeluknya sehingga mengurangi kebebasan manusia. Masa depan agama yang evolosioner adalah kehilangan identitasnya (Anthony Walace, 1966).
5.    Akibat globalisasi  yang memersatukan dunia maka semakin banyak kalangan umat beragama menyepelekan atau bahkan meninggalkan aturan agama, menyamaratakan agama (semua agama-agama sama saja!). menghindari aturan perkawinan antar agama, menghindari aturan hubungan antar agama, melawan kesepakatan agama, atau praktik-praktik hidup dengan sikap intoleransi; dan lain-lain.
6.    Makin kuatnya \kecenderungan prasangka antar agama yang bersumber dari mengentalnya “etnisitas” agama yang cenderung mengekslusifkan diri. Kemudian menyebarkan issu yang jmengidentikan setiap kegiatan sosial dan kemasyarakatan dengan proses pengagamasisasian agama tertentu, misalnya kristenisasi, Islamisasi san lain-lain. Prasangka terhadap “tidak diberikan” atau perlambanan ijin membangun rumah ibadah baru, pencaplokan jemaah; dan lain-lain. (Liliweri, 1995).
7.    Berubah dan merosotnya cara hidup sementara pemimpin agam dan juga kalangan umat beragama sehingga timbul anggapan dan berkurangnya pengahargaan dan penghormatan atas kepemimpinan agama, umat beragama merasa seolah-olah kehilangan tokoh agama panutan yang dapat membimbing mereka.
8.    Ada kecenderungan sementara kalangan umat beragama yang menanyakan apakah yang saya anut ini masih bisa mejamin kebahagiaan saya di akhirat.

        Masalah ekstern agama 

1.    Pengaruh ideologi bangsa modern cenderung makin kuat yang seolah “mengaburkan” peran agama atau menduborkandinastikan agama daripada ideologi kebangsaan. Yang salam konteks ideologi politik praktek dapat dilihat melalui perilaku sementara pejabat negara dan pemerintah, juga anggota masyarakat yang menyalah gunakan agama dengan idiologi untuk membentuk kelompok dan organisasi sosial, politik, ekonomi dan kemasyarakatan.
2.    Kontroversi mengenai sekularisasiyang mengacu pada semakin berkurangnnya oengaruh agama atas banyak bidang kehidupan sosial. Apa yang digambarkan itu merupakan dampak meluasnya peran birokrasi modern atau negara-negara modern (meluasnya paham sekularisasi). Salah satu akibat adalah timbulnya generalisasiyang tidak wajaryang menghubungkan atau menjadikan agma sebagai alat penguasa politik, legitimasi politik, komunikasi politik, kampanye politik, propaganda politik, dan lain-lain. Dalam proses politik bisa dicirikan oleh kehadiran organisasi politik berlabelkan agama. (Wilson,1980).
3.    Semakin kuatnya konsep generalisasi yang tidak wajar yang menghubungkan atau menjadikan agama sabagai penguasa ekonomi atau politik-ekonomi, komunikasi bisnis, propaganda ekonomi, dan lain-lain. Gejala itu dapat dilihat melalui pambentukan organisasi ekkonomi berlabel agama.
4.    Semakin kuatnya gejala-gejala konflik terbuka antar kepentingan apakah itu politik, ekonomi dalam konteks sosial suatu masyarakat. Misalnya sementara umat beragama tidak bisa memisahkan agama dengan kelompok rasional, “reference group”, “members group”, mayoritas dan minoritas, atau dengan kelompok etnik. Jadi, semakin kuatnya, kecendrungan orang menjadikan agama sebagai label kelompok.
5.    Semakin kuatnya gejala disintergrasi nilai agama dengan kebudayaan setempat yang dalam prosesnya antara lain dapat menimbulakan sintesa-sintesa baru dengan agama-agama asli dam pada gilirannya melahirkan sekte atau “agama baru” yang lebih realistis.
6.    Semakin kuatnya gejala-gejala konflik terbuka dalam bidang sosial dan politik yang mengganggu ketahanan dan keamanan masyarakat yang juga adalah umat beragama hanya karena konflik-konflik antarpribadi, antar kelompok yang mungkin juga camput tangan birokrasi negara modern dalam peranan agama dengan menjadikan agama sebagai label stabilitas.
Setelah memahami masalah-masalah intern dan ekstern umat beragama tersebut kita akan membahas dimensi ketiga yakni bagaimana memecahkan persoalan yang sedang dihadapi tersebut.

        Nilai agama dalam masyarakat majemuk

1)    Masyarakat yang homogen dan heterogen
Banyak ahli ilmu sosial berpendapat bahwa, begitu kita mencari aktualisasi nilai keagamaan untukn peduli sosial kedalam kontek masyarakat yang meletakan suatu “porsi” hubungan peranan agama dengan dan dalam konteks politik dan agama kenegaraan. 

Sebagaimana diketahui bahwa pendapat-pendapat tersebut timbul setelah melihat hubungan antar politik dan agama telah secara agama. Para pemikir politik kalsik seperti Aristoteles kemegasan menegaskan bahwa homogenitas agama adalah suatu kondisi kestabilan politik dan mereka benar. Apabila kepercayaan-kepercayaan yang berlawanan mengenai nilai-nilai tertinggi (ultimate value) masuk kedalam arena politik, mereka mulai bertikai dan makin jauh dari kopromi.

Dalam masyarakat mosern yang heterogen ada tiga perunbahan yang selalu terjadi dalam berbagai tingkat yang telah menengahi konflik-konflik mengenai nilai-nilai akhir itu, yakni: (1) sekularisasi; (2) melemahnya keyakinan agama pada umumnya; (3) terjadinya perpecahan, pemisahan agama dari daerah-daerah kehidupan yang lain. Sebaliknya dalam masyarakat mendefinisikan secara kabur mengenai ajaran dan praktiknya.

Tehadap masalah homogenisasi dan heterogenisasi umat beragama itu maka kita dapat mendekatinya melalui dua paradigma ploralitas, yakni pluralitas dialogal dan pluralitas indiferen, (Banawiratma, 1993).

Paradigma pluralitas indiferen mengatakan bahawa semua agama dengan caranya masing-masing menempuh jalan keselamatan menuju kepada tuhan yang mutlak. Paradigma ini merupakan mengakuan yang  bersifat teosentris dalam arti bahwa bagaimanapun juga agama-agama itu melalui jalannya masing-masing toh sedang menuju kepada Allah yang sama. Paradigma ini sangat terbuka namun mengakibatkan orang bersikap indeferan dan mengatakan bahwa semua agama seharusnya sama saja. Perbedaan-perbedaan bahkan barangkali pertentangan visi dan orientasi antara agama-agama yang satu dengan yang lain tidak diperlakukan sewajarnya. Pluralisme agama hanyalah dipandang semacam varian dari banyak ekspresi yang berbeda mengenai kenyataan atau pengalaman yang sama.

Kemudian paradigma pluralitas dialog yang mengakui bahwa ada kenyataan pluralisme iman dan agama. “saya menyakini bahwa agama dan iman saya sekarang inin adalah yang paling saya pertanggungjawabkan dan karena itu  saya anut dengan sepenuh hati”. Kehkasan masing-masing agama dan iman di akui, sekaligus masing-masing melalui dialog dapat menyumbangkan kekayaannya. Berhadapan dengan umat beragama danberiman lain kita mendengarkan, membiarkan diri dari sapa oleh iman dan kehidupan mereka.

Kita berusaha mengerti danmemahami dan bersedia di perkaya oleh mereka, kita sangguo secara jujur tebuka dan berbagi kekayaan dam iman kita, kita bersedia memperkaya agama dan iamn lain. Dalam dialog kita tidak membuat perbandingan dan evaluasi mana yang benar dan mana yang salah. Kita menemoatkan umat beragama dan beriman lain dari perspektif agama dan iman kita. Paradigma ini tidak hanya baik demi kerukuanan umat beragama dalam mengatur kehidupan bersama dan menjalankan aksi bersama.

2)    Dikotomi pendapat terhadap perkembangan peran agama

Saya akan memulai membahas dikotomi ini dengan mengutip dua pendapat yang berbeda tentang peranan agama dalam mesyarakat yang lebih banyak dikaitkan dengan masalah masa depan agama-agama.

Pertama, pendapat dari Wallace (1966). Banyak ilmuan telah mempengaruhi cara berfikir manusia (umat beragama) bahwa ilmu dan teknologi modern pada akhirnya akan menghancurkan agama sebagai suatu lembaga sosial. Kata Wallace: “masa depan yang evolusioner adalah kehilangan. Perkuatan supernatural yang mempengaruhi alam tanpa mematuhi hukum alam akan luntur dam menjadi hanya suatu memori sejarah menarik”.

Kedua, suatu pandangan yang bertentangan dikemukakan oleh Yinger(1970)  yang memandang agama sebagai suatu lembaga “suatu alat untuk memberi jawaban terhadap pertanyaan akhir; karena pertanyaan akhir selalu ada bersama kita, dan karena tidak mungkin bagi ilmu untuk berusaha menjawab sebagian pertanyaan-pertanyaan itu, maka agana selalu akan ada agar dapat mengurangi ketidakpastian”.