1. Kelahiran
Wartawan Pertama
Pada
zaman Romawi inilah, lahir wartawan-wartawan pertama. Wartawan-wartawan ini
terdiri atas budak-budak belian yang oleh pemiliknya diberi tugas mengumpulkan
informasi, berita-berita, bahkan juga menghadiri sidang-sidang senat dan
melaporkan semua hasilnya baik secara lisan maupun dengan tulisan. Surat kabar
cetakan baru terbit pada tahun 911 di Cina. Namanya King Pau. Surat kabar milik
pemerintah yang diterbitkan dengan suatu peraturan khusus dari Kaisar Quang Soo
ini, mula-mula terbitnya tidak tetap, tetapi mulai tahun 1351 sudah terbit
seminggu sekalinya. Isinya adalah keputusan-keputusan rapat-rapat
permusyawaratan dan berita-berita dari istana.
2. Jurnalistik
di Eropa
Di
Eropa, kapan surat kabar cetakan terbit untuk pertama kalinya dan siapa
penerbitnya, tidak begitu jelas. Teapi pada tahun 1605 Abraham Verhoeven di
Antwerpen, Belgia, mendapat izin untuk mencetak Nieuwe Tijdinghen. Baru pada
tahun 1617 selebaran ini terbit dengan teratur yaitu 8-9 hari sekali. Tahun
1620 sudah memakai nomor urut dan nama yang tetap Nieuwe Tijdinghen. Bentuknya
seperti buku dari delapan halaman, formatnya kecil seperti format selebaran,
judul beritanya panjang-panjang, di bawahnya terdapat kata-kata yang menarik
dengan huruf-huruf tebal. Pada tahun 1629 Nieuwe Tijdinghen berganti nama
menjadi Wekelijksche Tijdinghen. Pada masa peralihan surat selebaran menjadi surat kabar, Verhoeven telah
melengkapi isinya dengan segala macam peristiwa. Di Jerman, terbit surat kabar
pertama bernama Avisa Relation Order Zeitung pada tahun 1609. Pada tahun yang
sama juga terbit surat kabar Relation di Strassburg. Di Belanda, surat kabar
tertua bernama Courante Uyt Italien en Duytschland terbit pada tahun 1618. Di
Inggris, surat kabar oertama bernama Curant of General news terbit pada 1662. Di Perancis, pemerintah menerbitkan
surat kabar Gasette de France pada 1631. Di Italia sudah ada surat kabar pada
1636. Semua surat kabar cetakan tersebut terbit sekali seminggu.
3. Zaman
Penjajahan di Indonesia
Di
Indonesia, aktivitas jurnalistik dapat dilacak jauh ke belakang sejak zaman
penjajahan Belanda. Di Indonesia jurnalistik pers mulai dikenal pada abad 18,
tepatnya pada 1744. Menginjak abad ke 19, terbit sebagai surat kabar lainnya
yang kesemuanya masih dikelola oleh orang-orang Belanda untuk para pembaca
orang Belanda atau bangsa pribumi yang mengerti bahasa Belanda, yang pada
umumnya merupakan kelompok kecil saja. Sedangkan surat kabar pertama sebagai
bacaan untuk kaum pribumi dimulai pada 1854 ketika majalah Bianglala
diterbitkan, disusul oleh Bromartani
pada tahun 1885. Sejarah jurnalistik pers pada abad 20, namanya Medan Prijaji,
terbit di Bnadung. Medan Prajiji yang dimiliki dan dikelola oleh Tirto
Hadisurjo alias Raden Mas Djokomono ini pada mulanya 1907, berbentuk mingguan.
Baru tiga tahun kemudian, 1910, berubah menjadi harian. Tirto Hadisurjo inilah
yang dianggap sebagai pelopor yang meletakkan dasar-dasar jurnalistik ,odern di
Indonesia, baik dalam cara pemberitaan maupun dalam cara pemuatan karangan dan
iklan.
4. Dari
Bulan Madu ke Gelap Gulita
Lima
tahun kemudian, atau mulai 1950, pers Indonesia tergoda dan hanyut dalam dunia
politik praktis. Mereka lebih banyak memerankan diri sebagai corong atau
terompet partai-partai politi besar. Inilah yang disebut era pers partisan.
Artinya, pers dengan sadar memilih untuk menjadi juru bicara sekaligus
berperilaku seperti partai politik yang disukai dan didukungnya. Era pers partisan
ternyata tidak berlangsung sama. Sejak Dekrit President 1 juli 1959, pers
nasional memasuki masa gelap gulita. Setiap perusahaan penerbitan pers
diwajibkan memiliki surat izin terbit (SIT). Lebih parah lagi, ketika setiap
surat kabar diwajibkan menginduk (berafiliasi) pada organisasi politik atau
organisasi massa. Akibat kebijakan ini, tidak kuran dari 80 surat kabar pada
waktu itu dimiliki oleh sembilan partai politik dan organisasi massa. Baru
beberapa bulan peraturan itu berjalan, kemudian lahir peraturan baru yang
mempersempit ruang gerak para wartawan yang hendak mengeluarkan pikiran dan
pendapatnya, klimaksnya adalah pemberontakan PKI pada 30 September 1965 dengan
nama G30S. Gerakan itu berhasil ditumpas oleh rakyat bersama TNI dan mahasiswa.
5. Kebebasan
Jurnalistik Pasca 1965
Sejak
1965 itulah terjadi perubahan besar dalam dunia jurnalistik Indonesia. Pada
mulanya, perkembangan itu disebabkan oleh tiga hal. Pertama,
peristiwa-peristiwa tegang yang terjadi setelah G30S/PKI. Kedua, kebebasan pers
yang menjadi lebih leluasa dibandingkan dengan periode sebelumnya. Ketiga,
barangkali juga embrio sikap profesionalisme dalam redaksi dan dalam
pengelolaan bisnis berupa sirkulasi, iklan, serta pengelolaan keuangan.
Dalam
perkembangannya lebih lanjut, terjadilah perubahan. Tidak saja dalam iklim
sosial-politik, tetapi juga dalam iklim sosial-ekonomi dan sosial-budaya yang
berlainan dari periode sebelumnya dan mempunyai dampak besar terhadap
pertumbuhan pers. Pada mulanya berkembang situasi konflik yang membawa ketegangan
dimana-mana dan dalam berbagai sistem masyarakat, sehingga masyarakat
terangsang untuk mencari informasi lewat pers. Kemudian terjadilah proses lahir
dan didebatkannya gagasan-gagasan politik, ekonomi, dan kebudayaan baru :
proses yang menyuburkannya pertumbuhan pers yang sanggup menangkapnya. Surutnya
partai-partai dan berkembangnya embrio ide profesionalisme, yang diterjemahkan
antara lain orientasi independen dalam pers, menjadi tempat, sekaligus pemupuk,
timbulnya surat-surat kabar yang semakin cenderung untuk mengambil distansi
dari organisasi politik dan menumbuhkan kebijakan editorial yang relatif
independen. Akibat pengembangan ekonomi pasar bebas yang dijalankan oleh
pemerintah, sejumlah kecil surat kabar baik di ibukota maupun di beberapa kota
besar di daerah, berhasil meraih sejumlah besar iklan yang saling
mempertarungkan mutu produk serta jasa. Selama sua dasawarsa pertama Orde Baru,
1965-1985, kebebasan jurnalistik di Indonesia, memang bisa disebut lebih banyak
bersinggungan dengan dimensi, unsur, nilai, dan ruh politik. Sebagai sarana
ekonomi, pers dapat hidup dengan subur. Tetapi sebagai wahana ekspresi,
penyalur pendapat umum, sekaligus sebagai pengembangan fungsi kontrol sosial,
pers Indonesia dihadapkan pada berbagai pembatasan dan tekanan dari pihak
penguasa daerah dan pusat. Orde baru sangat menyanjung ekonomi sekaligus sangat
alergi dan bahkan membenci politik. Bagi Orde Baru, Pers identik dengan
politik. Sejarah menunjukkan, dalam lima tahun pertama kekuasaannya sangat
represif dan hegemonik, Orde baru bisa disebut sangat bersahabat dengan pers.
Fungsi utama pers sebagai komunikator informasi telah mengalami kemunduran
sehingga yang lebih menonjol adalah fungsinya yang lain sebagai sarana hiburan.
Dengan demikian fungsinya yang ketiga sebagai alat pendidikan informal
mengalami kepincangan terutama dalam bidang pendidikan politik, karena
terbatasnya kesempatan untuk membahas masalah-masalah kenegaraan serta gejolak
sosial dalam forum terbuka. Dari waktu ke waktu media massa memang berhasil
mengkomunikasikan berbagai gejala dan persoalan yang timbul dalam masyarakat
kepada khalayak pembaca, pendengar, atau penonton. Kebebasan jurnalistik,
kebebasan pers, dalam dua hari tiga dasawarsa kekuasaan monolotik Orde Baru,
hanya lebih banyak memunculkan kisah sedih daripada kisah sukses yang sejalan
dengan amanat para pendiri bangsa seperti dinyatakan dengan tegas dalam Pasal
28 UUD 1945. Dalam dasawarsa ketiga kekuasaan Orde Baru, kisah sedih itu masih
terus berlanjut. Pembatasan dan bahkan pemberedelan terhadap pers terus
berlangsung. Inilah yang disebut sebagai era pers tiarap Orde Baru. Orde
Barupun akhirnya tumbang pada 21 Mei 1988. Lahirlah kemudian apa yang disebut
Orde Reformasi.
6. Jurnalisrik
dalam Orde Reformasi
Kelahiran
Orde Reformasi sejak 21 Mei setelah Soeharto menyerahkan jabatan president
kepada wakilnya BJ Habibie, disambut dengan penu sukacita oleh seluruh rakyat
Indonesia. Terjadilah euforia di mana-mana. Kebebasan jurnalistik berubah
secara drastis menjadi menjadi kemerdekaan jurnalistik. Departemen penerangan
sebagai malaikat pencabut nyawa pers, dengan serta merta di bubarkan. Secara
Yuridis, UU Pokok Pers No.21/1982 pun diganti dengan undang-undang dan pemerintahan baru, siapa pun bisa menjadi
wartawan dan masuk dalam organisasi pers mana pun. Tak ada lagi kewajiban hanya
menginduk kepada satu organisasi pers. Seperti ditegaskan pasal 9 ayat (1) UU
pokok Pers No. 40/1999, setiap warga negara Indonesia dan negara berhak
mendirikan perusahaan pers. Pada pasal yang sama ayat berikutnya (2) ditegaskan
lagi, setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. Kewenangan
yang dimiliki pers nasional itu sendiri sangat besar. Menurut pasal 6 UU Pokok
Pers No. 40/1999, pers nasional melaksanakan peranannya. Dalam era reformasi,
kemerdekaan pers benar-benar dijamin dan senantiasa diperjuangkan untuk
diwujudkan. Semua komponen bangsa memiliki komitmen yang sama: pers harus
merdeka. Secara kuantitatif, dalam lima tahun pertama era reformasi, 1998-2003,
jumlah perusahaan penerbitan pers di Indonesia mengalami pertumbuhan sangat
pesat. Harus diakui, hasrat dan minat
masyarakat menerbitkan pers dalam lima tahun pertama masa reformasi bagai jamur
di musim hujan. Kecenderungan maraknya penerbitan pers sebagai dampak langsung
reformasi itu, ternyata tidak berlangsung lama. Dari seluruh perusahaan
penerbitan pers baru, 70 persen gulung tikar paling lama pada tahun ke tiga, 20
persen berikutnya tutup layar pada tahun ke empat, dan hanya 10 persen saja
yang masih mencoba terus bertahan melewati tahun ke lima. Kenyataan tersebut
menunjukkan, kemerdekaan yang diraih pers secara ideologis dan politis dalam
era reformasi sejak 1998 di Indonesia, tidak serta merta mengantarkan pers
nasional pada zaman keemasan. Secara historis, pers Indonesia yang dulu dikenal
dan menamakan diri sebagai pers perjuangan, dilahirkan untuk hidup. Sekali
layar berkembang, pantang surut ke belakang. Atas dasar itulah pers nasional
yang sekarang tetap terbit dan terus bertahan di seluruh pelosok Indonesia,
berusaha untuk senantiasa merujuk pada pedoman filosofis itu.
7. Pers
Indonesia Menggengam Bara
Pers
Indonesia Menggenggam Bara. Judul itulah yang ditampilkan ketika mengangkat
laporan hasil jajak pendapat (polling) memperingati Hari Pers Nasional 9
Februari 2005. Jajak pendapat yang diselenggerakan Litbang Kompas, 2-3 Februari
2005 itu, dilakukan terhadap 872 responden berusia minimal 17 tahun dengan
menggunakan metode pencuplikan sistematis dari buku telepon terbaru. Dengan
menggunakan metode ini, pada tingkat kepercayaan 95 persen, nirpencuplikan
penelitian 3,3 persen. Litbang Kompas mengingatkan, hasil jajak pendapat yang
dilakukannya tidak dimaksudkan untuk mewakili pendapat seluruh masyarakay di
negeri. Di satu sisi, runtuhnya kekuasaan represif Orde Baru membuat dunia pers
menikmati masa gemilang dengan kebebasan yang seolah tak terbatas. Namun, di
sisi lain, liberalisasi pada akhirnya mengundang kekhawatiran publik. Apresiasi
yang tinggi dari publik terhadap era kebebasan pers saat ini, ternyata tidak
membebaskan pers dari munculnya masalah baru, yakni dampak-dampak negatif dari
kebebasan dan industrialisasi pers. Dari penilaian publik terhadap kiprah surat
kabar, secara umum telihat bahwa mayoritas responden, 84 persen, menilai
pemberitaansurat kabar saat ini lebih daripada saat awal era reformasi.
Peningkatan yang terjadi mencangkup unsur kualitas dan kuantitas terlihat,
sebagian besar responden, 74 persen, menilai kini surat kabar semakin lengkap
dalam menyajikan informasi peristiwanya. Kemajuan dalam bidang grafis,
komputer, dan mesin cetak menjadikan surat kabar masa kini secara fisik lebih
variatif dan menarik. Pada bentuk media yang lain, yaitu televisi, reaksi yang
lebih kuat dilontarkan publik meskipun substansinya relatif sama. Proporsi
responden yang lebih besar, 80 persen, menyatakan puas dengan tayangan
pemberitaan televisi. Pemberitaan televisi saat ini lebih dinilai tanggap,
lugas, dan komprehensif dibandingkan dengan masa sebelumnya. Sedangkan tentang
kekuatan modal dibalik berbagai stasiun televisi saat ini yang masih dimiliki
segelintir konglomerat lama, sebagian besar responden, 69 persen, menyatakan
media televisi kini semakin transparan dalam pemberitaan. Berdasarkan hasil
jajak pendapat, media elektronik, dalam hal televisi, menjadi pihak yang dianggap
paling berpengaruh dalam menyebarkan dampak negatif kebebasan dewasa ini. Berbagai tayangan
televisi yang mengandung unsur pornografi, kekerasan, dan berita-berita sensasi
(gosip), dinilai sudah jauh dari kewajaran. Pandangan ini disuarakan responden
dengan proporsi 61-69 persen. Dari proporsi responden terlihat, 71 persen
responden menganggap, dalam beberapa persoalan, surat kabar memberi pengaruh
yang relatif lebih baik kepada nilai-nilai masyarakat, sementara dukungan pada
televisi hanya dilontarkan 51 persen. Hasil jajak pendapat menunjukkan,
berbagai peristiwa hukum akibat tugas jurnalistik masih diselesaikan dengan
dasar hukum umum, seperti KUHP dan KUH Perdata. Sebanyak 47 persen responden
menilai perlindungan kepada pers memang belum memadai, sementara yang
menganggap sebaliknya 40 persen. Penilaian ini menggambarkan, kebebasan pers
yang digenggam masih mengandung bara yang dapat menghanguskan dirinya sendiri.
Cukup banyak sisi terang dari hasil kinerja jurnalistik Indonesia dalam tujuh
tahun pertama era reformasi. Namun juga harus diakui, tak sedikit sisi gelap
yang masih menyimpan persoalan, gugatan, dan bahkan ancaman yang cukup
mengerikan. Tapi, bagi pers Indonesia, seperti juga sudah teruji dan terbuktikan
dalam sejarah, tak ada istilah kalah atau menyerah untuk menghadapi apapun
tantangan dan ancaman yang muncul. Kebebasan dan kebenaran, di manapun, memang
harus terus diperjuangkan.